Perlu disadari semua yang kita terapkan dalam pekerjaan akuntansi sehari-hari (baik itu dalam perusahaan maupun di kantor akuntan publik) memerlukan penilaian untuk melakukan pengakuan dan pelaporan yang menggunakan prinsip, asumsi dan konstrain sebagai patokan utama.
Misalnya:
a). Pembayaran sewa sebesar Rp 240 juta untuk satu tahun tidak kita akui sebagai biaya sewa secara sekaligus, melainkan diakui sebagai “biaya sewa dibayar dimuka” terlebih dahulu, baru kemudian dialokasikan sebagai “biaya sewa” setiap bulannya. Mengapa demikian? Karena akuntansi berprinsip bahwa: setiap biaya yang timbul mesti bisa dihubungkan dengan revenue yang timbul di periode yang sama (matching principle).
b). Pada perusahaan peseroran terbatas (PT), jika direktur menggunakan uang perusahaan untuk keperluan pribadinya, kita akui sebagai ‘Piutang’ meskipun misalnya direktur kebetulan adalah pemilik usaha. Mengapa? Karena akuntansi mengasumsikan bahwa: perusahan adalah entitas tersendiri, terpisah dari diri pribadi pemiliknya (entity assumption).
c). Sebagian piutang, belum apa-apa sudah membuat “cadangan piutang tak tertagih” (bad debt) padahal belum tentu terjadi, sementara mengapa tidak ada istilah “cadangan utang yang tak mampu dibayar”? Karena akuntansi memandatkan bahwa: kekayaan (asset) tidak boleh diakui lebih tinggi dari kenyataannya, sementara kewajiban tidak boleh diakui lebih rendah dibandingkan kenyataannya (conservatism constraint).
Dan lain sebagainya. Intinya, setiap perlakuan akuntansi selalu berpegang entah pada suatu prinsip, asumsi atau konstrain. Sebagian besar standar akuntansi selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip, asumsi-asumsi dan teori konstrain yang sebut dengan istilah “conceptual framework of the financial reporting.”
Asumsi-asumsi Yang Digunakan Dalam Akuntansi
1. Entitas Akuntansi: Suatu perusahaan diasumsikan sebagai suatu ‘sosok” yang dalam dunia akuntansi disebut dengan “entitas,” yang mandiri terlepas dari diri pribadi pemiliknya. Dengan kata kata lain, secara virtual, suatu entitas usaha memiliki karakteristik sebagaimana layaknya sesosok individu:
- Memiliki nama
- Memiliki hari ulang tahun (tanggal pendirian)
- Melakukan aktivitas (operasional) It is engaged in clearly defined activities.
- Melakukan pemeriksaan dan melaporkan kondisi kesehatan (via laporan keuangan)
- Memiliki hak dan kewajiban hukum
- Membayar pajak
Mengapa akuntansi menggunakan asumsi entitas?
- Melahirkan konteks. Asumsi entitas memberikan kemudahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan saat membaca laporan keuangan suatu perusahaan, pembaca jadi tahu laporan keuangan siapa (perusahaan mana) yang sedang mereka baca sehingga mereka bisa menempatkan dalam ‘konteks’ apa laporan keuangan tersebut ada.
- Menimbulkan pemahaman mengenai batas kepemilikan. Asumsi yang memandang suatu usaha sebagai entitas tersendiri (terlepas dari pemiliknya) menimbulkan pemahaman mengenai batas kepemilikan dalam suatu usaha dimana para pemiliknya sekarang menjadi tahu bahwa hak dan kewajiban mereka hanya sebatas modal yang mereka setorkan.
2. Going Concern: Akuntansi mengasumsikan bahwa suatu usaha didirikan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang lama. Asumsi ini membuat asset perusahaan dibeli tidak untuk dijual melainkan untuk terus digunakan sepanjang usia perusahaan. Sekaligus, khususnya bagi perusahaan yang sudah berstatus gopublic, asumsi ini membuat para calon investor memiliki pandangan yang pasti bahwa setiap invetasi yang mereka tanamkan di suatu perusahaan akan terus dijaga untuk waktu yang lama. Asumsi “ going concern ” ini malah wajib diaudit untuk memastikan bahwa perusahaan memang memiliki kemampuan yang cukup untuk terus menjalankan operasional mereka saat ini dan masa-masa yang akan datang.
3. Pengukuran dan Satuan ukur: Akuntansi mengasumsikan bahwa yang harus dilaporkan hanya hal-hal yang sifatnya bisa diukur (dikuantitativekan). Tidak menampilkan hal-hal yang tidak bisa diukur. Karena hanya melaporkan hal-hal yang bisa diukur saja, maka laporan disajikan dalam satuan mata uang wilayah yurisdikasi di mana perusahaan berada. Di Indonesia misalnya, laporan keuangan disajikan dalam satuan mata uang Rupiah.
4. Periodisitas: Untuk memudahkan, hidup perusahaan yang diasumsikan berlangsung lama selanjutnya diasumsikan dapat diukur dalam satuan “periode waktu tertentu” dimana laporan keuangan dibuat dan dilaporkan. Untuk perpajakan kita di Indonesia menganut sistim periodisasi laporan tahunan meskipun di masing-masing perusahaan mungkin menggunakan periodisasi laporan komersial secara bulanan atau kuartalan.
Prinsip-Prinsip Yang Dianut Oleh Akuntansi
Disamping menggunakan asumsi-asumsi, akuntansi juga menganut prinsip-prinsip tertentu, antara lain:
1. Cost Historis: Akuntansi berprinsip bahwa nilai asset suatu perusahaan dilaporkan sebesar nilai historisnya dalam hal ini adalah harga perolehannya. Misalnya, lima tahun yang lalu sebuah perusahaan membeli sebidang tanah untuk dijadikan tempat usaha sebesar Rp 4 milyar di daerah Kelapa Gading. Sampai kapanpun tanah tempat usaha ini nilainya tetap hanya sebesar Rp 4 milyar meskipun saat ini mungkin harga pasarannya (fair value) sudah mencapai Rp 11 milyar. Belakangan ini penilaian asset kembali/revaluasi sudah semakin lumrah dilakukan, dan penggunaan fair value semakin bergaung karena penilaian yang menggunakan metode “ cost” sudah dianggap semakin tak relevan. Namun demikian prinsip “historical cost” bukanlah prinsip yang digunakan bertahun-tahun tanpa alasan. Begitu lama dianut karena dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya “diskresi” yang bisa saja diterapkan oleh manajemen perusahaan untuk mengangkat nilai perusahaan mereka melalui revaluasi.
2. Akrual (accrual basis): salah satu prinsip paling berpengaruh di dunia akuntansi, yang menjadi dasar pengakuan revenue, cost serta biaya yang timbul di dalam perjalanan operasional perusahaan. Akrual ini bercabang menjadi 2 prinsip, yaitu:
- Pengakuan Pendapatan (Revenue Recognition): Dengan prinsip ini, akuntansi memandatkan bahwa pendapatan hanya boleh diakui bila sudah menjadi hak dan dapat diukur.
- Kesesuaian (Matching Principle): Dengan prinsip ini, akuntansi memandatkan bahwa cost serta biaya hanya diakui bila bisa dihubungkan dengan pendapatan yang dihasilkan dalam periode yang sama.
3. Pengungkapan Penuh (Full Disclosure): Dengan prinsip ini, akuntansi memandatkan agar semua informasi ekonomis yang berhubungan dengan isi laporan keuangan, diungkapkan. Itu sebabnya mengapa laporan keuangan yang lengkap terdiri dari:
- Financial statements
- Notes to financial statements
- Supplementary information
Hambatan (Konstrain)
Konstrain adalah setiap sistem memiliki keterbatasan, termasuk entitas dan informasi keuangan yang dihasilkan juga memiliki keterbatasan. Maka dari itu maka akuntansi terpaksa mau tidak mau harus mentoleransi berbagai kemungkinan keterbatasan tersebut. Sebagai konsekuensi logis, maka pembaca laporan keuangan juga diharapkan bisa memahami keterbatasan tersebut.
Adapun keterbatasan/hambatan yang dimaksudkan, meliputi:
1. Estimasi dan Penilaian: Ada begitu banyak unsur ketidakpastian di dalam suatu kejadian ekonomis (economic event). Pengukuran terhadap transaksi yang mengandung ketidakpastian mau tidak mau harus menggunakan estimasi dan penilaian yang bisa saja bersifat subyektif. Ini tergolong konstrain atau keterbatasan. Misalnya: tingkat ketertagihan piutang mengandung unsur ketidakpastian, oleh karena itu maka dibuatkan cadangan piutang tak tertagih yang masih berupa “estimasi” dan banyak menggunakan penilaian yang bisa saja bersifat subyektif.
2. Materialitas: Disamping estimasi dan penilaian, akuntansi juga mengggunakan “materialitas” sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan sikap terhadap suatu kejadian ekonomis transaksi. Misalnya: kas kecil selisih Rp 400 rupiah karena uang kembaliannya berupa permen. Apakah karena itu lalu laporan kas dianggap bermasalah? Jawabannya, tergantung apakah bagi perusahaan Rp 400 itu dianggap material atau immaterial. Dan ini bisa berbeda antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Ini termasuk keterbatasan/hambatan yang dihadapi dalam pelaporan keuangan.
3. Konsistensi: Dalam prakteknya, perusahaan bisa saja menggunakan berbagai metode pengukuran, pencatatan dan pelaporan, yang tidak bisa dipaksakan begitu saja. Ini juga hambatan. Akuntansi bisa menerima keterbatasan ini sepanjang perushaan melakukannya secara konsisten dari waktu ke waktu. Misalnya: jika dari awal menggunakan metode garis lurus dalam menghitung penyusutan aktiva, maka untuk seterusnya perusahaan diharapkan menggunakan metode yang sama. Atau mungkin perusahaan menggunakan metode FIFO dalam menentukan harga pokok penjualan dari persediaan barang dagangan yang laku, maka perusahaan diharapkan untuk konsisten menggunakan metode yang sama dari satu periode ke periode lainnya.
4. Konservatif: Konstrain yang terakhir adalah terkait dengan tingkat ketidakpastian hak dan kewajiban yang akan terjadi namun belum sungguh-sungguh terjadi. Aktiva tidak boleh diakui lebih besar dari yang seharusnya, dan di sisi lainnya, kewajiban tak boleh diakui lebih kecil dari yang seharusnya.
Dari berbagai asumsi, prinsip dan konstrain yang digunakan dalam akuntansi bisa dilihat bahwa: akuntansi bukan hukum (accounting isn’t law). Bukan ilmu pasti yang bisa diterapkan secara kaku.
(Sumber:JAK)ns
Related Posts

Siklus Pendapatan (Penjualan) dan Pembelian (Utang)

Perbandingan Akuntansi Manajemen Dengan Akuntansi Keuangan
